Pemetaan Permasalahan Tawasul dengan Nabi dan Orang Saleh |
KULIAHALISLAM.COM - Pemetaan utuh permasalahan tawasul dengan Nabi dan orang-orang saleh serta posisi Muhammadiyah.
Tawasul, jika yang dimaksud adalah: berdo'a langsung kepada Allah, dengan menyebutkan Nabi atau orang Saleh dalam bacaan do'a, semisal dengan lafaz:
اللَّهُمَّ إِنِّي أسألك بنبيك ...
"Ya Allah, aku memohon kepada Engkau, dengan berkat Nabi-Mu, ... (tolonglah aku atau turunkanlah hujan bagi kami)..."
Atau:
اللَّهُمَّ إِنِّي أسألك بالمرسلين ...
"Ya Allah, aku memohon kepada Engkau, dengan berkat para Rasul, ... (tolonglah aku atau jadikanlah panen kami berhasil)..."
Atau:
اللَّهُمَّ إِنِّي أسألك بعبادك الصالحين ...
"Ya Allah, aku memohon kepada Engkau, dengan berkat para hamba-Mu yang saleh, ... (tolonglah aku atau jauhkanlah kami dari api Neraka)..."
Atau lafaz-lafaz lainnya yang semisal itu.
Maka tawasul yang demikian itu adalah khilafiyah ijtihadiyah di kalangan para ulama, masuk dalam bahasan perselisihan antar mazhab di kalangan salaf. Sebagian ulama ada yang melarang (menganggap bid'ah) dan sebagian ulama lainnya ada yang membolehkan (menganggapnya disyariatkan) Namun kedua pendapat sama-sama kuat dan duanggap (mu'tabar).
Syekh Muhammad Bin Abdul Wahab At-Tamimi Al-Hanbali Rahimahullah berkata:
قولهم في الاستسقاء: لا بأس بالتوسل بالصالحين، وقول أحمد: يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم خاصة، مع قولهم: إنه لا يستغاث بمخلوق، فالفرق ظاهر جدًا، وليس الكلام مما نحن فيه؛ فكون بعض يرخص بالتوسل بالصالحين وبعضهم يخصه بالنبي صلى الله عليه وسلم، وأكثر العلماء ينهى عن ذلك ويكرهه، فهذه المسألة من مسائل الفقه، ولو كان الصواب عندنا: قول الجمهور: إنه مكروه، فلا ننكر على من فعله؛ ولا إنكار في مسائل الاجتهاد، لكن إنكارنا على من دعا لمخلوق أعظم مما يدعو الله تعالى، ويقصد القبر يتضرع عند ضريح الشيخ عبد القادر أو غيره، يطلب فيه تفريج الكربات، وإغاثة اللهفات، وإعطاء الرغبات.
"Perkataan Mereka dalam masalah meminta hujan kepada Allah: "Tidak mengapa bertawasul dengan orang-orang saleh". Sedangkan perkataan Imam Ahmad Bin Hanbal: "Bertawasul hanya khusus diperbolehkan dengan Nabi Muhammad saja", bersamaan dengan perkataan mereka juga: "Tidak diperbolehkan beristighotsah (memohon bantuan) kepada makhluk-makhluk (dalam masalah meminta hujan ini)".
Maka perbedaan antara keduanya (antara tawasul dan istighasah) sangatlah jelas, dan perkataan kami bukanlah membahas tentang istighasah. Sebagian ulama mengizinkan tawasul dengan orang-orang saleh. Sebagian lainnya membatasi bolehnya bertawasul hanya dengan Nabi Muhammad saja.
Sedangkan mayoritas ulama melarangnya (tawassul dengan Nabi maupun orang-orang saleh) dan menganggapnya makruh. Maka masalah ini adalah salah satu dari masalah-masalah fikih. Pendapat yang benar menurut kami adalah pendapat mayoritas ulama:
Bahwasannya (tawasul dengan Nabi maupun orang-orang saleh) hukum makruh, akan tetapi kami tidak mengingkari (menentang) terhadap orang yang mengamalkannya. Tidak boleh ada pengingkaran (penentangan) dalam masalah-masalah ijtihadiyah.
Akan tetapi pengingkaran (penentangan) kami adalah terhadap orang yang berdo'a (memohon) kepada makhluk lebih besar daripada do'anya kepada Allah, yang bermaksud merendahkan diri ke kuburan. Semisal ke kuburan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dan selainnya. Di sana memohon pertolongan agar dihilangkan kesulitan-kesulitannya, memohon bantuan dalam kesedihan-kesedihannya, dan memohon pemberian terhadap keinginan-keinginannya.
فأين هذا ممن يدعو الله مخلصًا له الدين لا يدعو مع الله أحدًا، ولكن يقول في دعائه: أسألك بنبيك، أو بالمرسلين، أو بعبادك الصالحين، أو يقصد
"Maka jauhlah perkara ini dari orang yang hanya berdo'a kepada Allah dengan memurnikan agama hanya untuk-nya. Sedangkan ia tidak berdo'a kepada selain Allah seorangpun, hanya saja ia berkata: "Ya Allah, aku meminta kepada-Mu, dengan berkat Nabi-Mu" atau "dengan berkat para Rasul" atau "dengan berkat hamba-hamba-Mu yang saleh", atau dia mendatangi (berziarah)
[محمد بن عبد الوهاب، فتاوى ومسائل (مطبوع ضمن مؤلفات الشيخ محمد بن عبد الوهاب، الجزء الرابع)، صفحة ٦٨].
[Lihat kitab Majmuu' Fatawaa Wa Masaail, halaman 68].
قبر معروف أو غيره يدعو عنده، لكن لا يدعو (إلا) الله مخلصًا له الدين، فأين هذا مما نحن فيه؟
Ke kuburan yang dikenal atau ke tempat lain, lalu berdo'a di sana, namun tidaklah ia berdo'a melainkan hanya kepada Allah semata dengan memurnikan agama hanya untuk-Nya. Maka sangat jauh perkara ini dari apa yang telah kami sebutkan sebelumnya."
[محمد بن عبد الوهاب، فتاوى ومسائل (مطبوع ضمن مؤلفات الشيخ محمد بن عبد الوهاب، الجزء الرابع)، صفحة ٦٩].
[Lihat kitab Majmuu' Fatawaa Wa Masaail, halaman 69].
Pendapat yang Membolehkan Tawasul
Pendapat yang membolehkan tawasul dengan Nabi dan orang-orang saleh adalah dari kalangan mazhab Syafi'iyah dan mazhab Malikiyah.
Pendapat yang membolehkan tawasul dengan Nabi saja dan tidak membolehkan tawasul dengan orang-orang saleh adalah dari kalangan mazhab Hanabilah.
Pendapat yang tidak membolehkan tawasul dengan Nabi ataupun orang-orang saleh adalah dari kalangan mazhab Hanafiyah.
Kurang lebih demikian pemetaannya, meski tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya persis seperti Iitu. Namun yang penting menjadi pegangan adalah kesimpulannya bahwa tswasul yang jenis ini adalah masuk dalam ranah khilafiyah ijtihadiyyah pada masalah fikih.
Akan tetapi, jika yang dimaksud sebagai tawasul adalah memohon-mohon kepada orang yang sudah mati, baik dari kalangan Nabi ataupun orang saleh, dengan kepercayaan bahwa mereka sebagai perantara-perantara yang akan menyampaikan permohonan kepada Allah.
Semisal lafaz:
يا نبي ...
"Wahai Nabi, ... (tolonglah aku atau tolong mintakan kepada Allah agar hujan diturunkan)..."
ياحسين ...
"Wahai Husain, ... (tolonglah aku atau tolong mintakan kepada Allah agar rezeki kami lapang)..."
يا عبدالقادر
"Wahai Abdul Qadir, ... (tolonglah aku atau tolong mntakan kepada Allah agar melindungi kami dari adzab neraka)..."
Maka, inilah yang dianggap bid'ah dhalalah bahkan dalam tahap tertentu dapat mencapai syirik (akbar). Tawasul yang seperti ini, disebut juga sebagai "istighasah".
Syekh Muhammad Bin 'Abdul Wahhab At-Tamimi Al-Hanbali Rahimahullah berkata:
من جعل بينه وبين الله وسائط يدعوهم ويسألهم الشفاعة ويتوكل عليهم فقد كفر إجماعا
"Barangsiapa yang menjadikan di antara dirinya dengan Allah terdapat perantara-perantara (wasithah-wasithah), yang ia bermohon kepada perantara-perantara tersebut, meminta syafa'at dari mereka, dan menyerahkan urusan kepada mereka, maka dia kafir berdasarkan kesepakatan (ijma') ulama." [Lihat Matan Nawaqidhul Islam, pada Pembatal Islam No. 2].
Bentuk-Bentuk Permohonan
Jika bentuk permohonan kepada orang-orang mati tersebut adalah redaksinya jelas semisal: "Ya Nabi, tolong aku", "Ya Husain, selamatkan kami dari neraka", atau "Ya Abdul Qadir Jailani, turunkan hujan". Maka itu adalah syirik (akbar) tanpa keraguan, bahkan meskipun pelaku yang bersangkutan hanya meyakininya sebagai perantaraan saja (tetap syirik).
Namun jika bentuk permohonan kepada orang-orang mati tersebut adalah redaksinya terperinci semisal: "Ya Rasulullah, mintalah kepada Allah agar menurunkan hujan" atau "Ya Husain, mintalah kepada Allah agar Allah menolong kami", maka tanpa keraguan ini adalah bid'ah dhalalah. Namun para ulama berselisih menjadi dua endapat tentang ini: "apakah ini sampai pada bid'ah mukaffirah (syirik akbar) ataukah hanya bid'ah ghairu mukaffirah (belum syirik akbar)?".
Ditanyakan kepada Syekh 'Abdul 'Aziz Bin 'Abdullah Bin Baz rahimahullahm tentang sebuah riwayat dha'if yang berisi seseorang yang memohon ke kubur dengan redaksi sebagai berikut:
يا رسول الله استسق لأمتك فإنهم قد هلكوا
"Wahai Rasulullah, mintalah hujan kepada Allah untuk umatmu, karena mereka akan binasa (karena kekeringan)".
Maka, Syekh 'Abdul Aziz Bin Baz menjawab:
وأن ما فعله هذا الرجل منكر ووسيلة إلى الشرك بل قد جعله بعض أهل العلم من أنواع الشرك
"Dan adapun apa yang diamalkan oleh laki-laki tersebut adalah perbuatan mungkar dan merupakan sarana yang berpotensi dapat mengantarkan kepada syirik, bahkan sebagian ulama lainnya langsung menghukumi perbuatan tersebut sebagai bagian sari syirik." [Lihat http://www.saaid.net/Doat/Zugail/232.htm].
Disini Syekh Ibnu Baz menyebut dua pendapat, yaitu (pertama) itu termasuk perbuatan mungkar tapi belum sampai syirik, (kedua) itu termasuk syirik, lalu kita ketahui darinya bahwa pendapat Syekh Ibnu Baz adalah pendapat yang ertama.
Ustaz Dr. Firanda Andirja, Lc., M.A. Hafizhahullah berkata:
"Meminta doa kepada mayat di sisi kuburannya si mayat. Maka yang seperti ini diperselisihkan oleh para ulama:
Pertama, sebagian ulama mengatakan bahwa ini adalah kesyirikan menimbang bahwa meminta kepada mayat itu sendiri sudah merupakan ibadah. Dan demikianlah bentuk kesyirikan kaum musyrikin zaman Jahiliyah sewaktu mereka meminta syafaat kepada mayat, kata sebagian ulama. Pendapat ini dinisbatkan kepada Ibnu Taimiyah dalam beberapa pembahasan.
Kedua, hukumnya bidah dan mengantarkan kepada kesyirikan namun belum sampai derajat syirik. Karena dia tidak meminta atau beribadah langsung kepada sang mayat namun dia hanya meminta tolong dengan perantaraan si mayat.
Lebih dari itu, terdapat khilaf di kalangan para ulama apakah si mayat masih bisa mendengar orang yang datang kepadanya atau tidak, meskipun demikian tetap saja si mayat tidak akan bisa mendoakan, dan sangat berbahaya karena bisa menjadi sarana pengagungan terhadap mayat.
Inilah pendapat yang lebih kuat, sebagaimana pendapat Ibnu Taimiyah dalam satu konteks pembahasan, demikian pula dikuatkan oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syekh bin Baz, Syekh Bakr Abu Zaid rahimahumullah. Meskipun tidak sampai derajat syirik tetapi hal ini sangat berbahaya karena sangat mudah mengantarkan kepada kesyirikan."[Lihat https://bekalislam.firanda.com/4409-termasuk-kesyirikan-beristighotsah-dan-berdoa-kepada-selain-allah-bab-13.html].
Dapat dilihat pula, Ustaz Firanda Andirja memilih pendapat bahwa hal tersebut belum sampai syirik, sama seperti Syekh Ibnu Baz, Syekh Ibnu Utsaimin, dan Syekh Bakr Abu Zaid.
Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah
Lalu dimana posisi para ulama Muhammadiyah dan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam perbedaan pendapat ini??? Jawabnya:
Pertama, Kiai Haji Ahmad Dahlan sebagaimana yang disebutkan Ooleh Kiai Raden Haji Hadjid, berpendapat bahwa meminta mayat berdoa kepada Allah sebagai bid'ah dhalalah lalu beliau tidak mengomentari sama sekali apakah sudah sampai syirik ataukah belum sampai syirik.
Kiai Raden Haji Hadjid rahimahullah berkata:
"Kiai Dahlan bermuhasabah melihat kaum Muslimin di kampung Kauman dan sekitarnya (Yogyakarta) serta tanah air Indonesia terdapat beberapa bid'ah. Maka Kiai Dahlan berjuang mengajak kembali kepada ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Rasul, serta meninggalkan bid'ah-bid'ah tersebut."[Lihat buku Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur'an, halaman 121].
Lalu beliau menyebutkan 12 perkara bid'ah yang berhasil diberantas oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan, yang mana point 7 adalah tawasul ke kuburan.
Kiai Raden Haji Hadjid rahimahullah berkata:
"Dengan kerja berat dan sabar telah berhasil memberantas beberapa bidah seperti: .....
Minta selamat dan bahagia kepada kuburan-kuburan para wali dan tawasul kepada Nabi."[Lihat Buku Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah Dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur'an, Halaman 122].
Lalu beliau menyebutkan tentang beberapa kitab ulama yang penting dirujuk dalam memberantas bid'ah, salah satunya adalah kitabnya Syekhul Islam Ibnu Taimiyah yang membahas tawasul.
Kiai Raden Haji Hadjid rahimahullah berkata:
"Hendaklah kita meneruskan memberantas bidah yang ada di kalangan umat Islam dengan berpedoman kitab-kitab At-tauashul wal Washilah karangan Ibnu Taimiyah dan Zadul Ma'ad karangan Ibnul Qayyim. Al-I'tikhom karangan Imam Syatibi (al-Mudkhal lil Ibnil Akhdaz), Tariqotul Muhammadiyah lil Barkawi, As-Sunnu wal Mubtadi'ah, al-Ibda-u fi Mudla-ril Ibtida'i, Ummul Quro li-'Abdurrachman al-Kawabi, dan lain-lain."[Lihat Buku Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah Dan 17 Kelompok Ayat Al-Qur'an, halaman 123].
Kedua, Buya Hamka sendiri tegas berpendapat dengan pendapat bahwa meminta mayat berdoa kepada Allah termasuk kesyirikan, beliau juga menyandarkan pendapat ini sebagai pendapat yang dipegang oleh Haji Rasul (Ayah beliau) dan Syekh Muhammad Jamil Jambek.
Buya Hamka rahimahullah berkata:
"Kemudian, oleh Universitas Muhammadiyah, Soekarno diberi gelar "Doctor Honoris Causa" dalam ilmu tauhid. Sampai profesor dan sarjana perempuan yang kita banggakan, Ny. Bararah Baried menjadi promotor. Namun, di saat itu juga Allah menunjukkan bahwa Dia tidak ridha atas perbuatan itu. Sebab dalam promosinya, Bung Karno sendiri menganjurkan supaya orang ziarah ke kubur ibu atau bapaknya, meminta supaya ibu atau bapaknya itu menyampaikan permohonannya kepada Allah agar Allah memberikan pertolongan kepada yang meminta."
Padahal, itulah yang oleh kalangan Muhammadiyah diberantas selama 54 tahun sampai sekarang ini. Itulah yang dikatakan "At-Tawassul wal Wasilah" yang dikarang oleh al-Imam Ibnu Taimiyah.
Buku "At-Tawassul wal Wasilah" ini adalah salah satu buku pegangan kaum mubaligh dan ulama Muhammadiyah. Inilah program pertama Muhammadiyah sejak ia berdiri, yaitu memberantas kemusyrikan.
Ini pulalah sebab terpenting ulama-ulama Sumatera Barat, seperti almarhum Syekh M. Jamil Jambek dan Syekh Dr. Abdulkarim Amrullah menjadi penyokong Muhammadiyah. Sebab, sama pendirian memberantas permohonan melalui orang yang telah mati dikubur Oleh karena itu, Doctor Honoris Causa tentang ilmu tauhid yang dianugerahkan kepada Bung Karno telah dibatalkan oleh Bung Karno sendiri dalam pidatonya itu." [Lihat Buku Dari Hati Ke Hati, halaman 158 sampai halaman 159].
Dapat dilihat disini, sama seperti Kiai Haji Ahmad Dahlan dan Kiai Raden Haji Hadjid, Buya Hamka berpegang kepada salah satu Kitabnya Ibnu Taimiyah yang membahas tawasul.
Ketiga, Kiai Haji Mas Mansur, begitupula Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, telah berkata menghukumi perbuatan menjadikan kuburan-kuburan sebagai perantara-perantara yang menyampaikan do'a kepada Allah sebagai syirik. Namun tidak ada penjelasan lebih lanjut "apakah yang dihukumi syirik tersebut adalah permintaan yang redaksinya sampai pada: "Ya Rasulullah, tolong aku" ataukah hanya sekedar redaksi: "Ya Rasulullah, mintakan kepada Allah agar menolongku" sudah dihukumi syirik?".
Ketidak-adaan penjelasan ini, baik dalam keterangan Tarjih maupun keterangan Kiai Haji Mas Mansur. Menyebabkan keterangan keduanya itu bisa saja dapat diarahkan interpretasinya pada kemungkinan pendapat pertama (yang menganggap meminta mayat berdoa kepada Allah sebagai syirik) ataupun pendapat yang kedua (yang menganggap meminta mayat berdoa kepada Allah hanya sebatas bid'ah yang berpotensi mengantarkan kepada syirik).
Kiai Haji Mas Mansur rahimahullah berkata, menyebutkan tiga kelompok manusia yang berbuat syirik, salah satu kelompoknya adalah orang-orang yang mengambil pperantaraan dari kubur-kubur orang-orang saleh:
Kiai Haji Mas Mansur rahimahullah berkata:
"Lain halnya dengan orang yang syirik (menyekutukan Allah), karena mereka itu mempunyai corak pandangan dalam hal yang berkaitan dengan kepercayaan itu sebagai berikut:
Pertama: selain mereka itu mempercayai adanya Allah dan kekuasaan-Nya, mereka juga percaya bahwa di samping Tuhan itu masih ada pula sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan dan kekuasaan ghaib, yang dapat mempengaruhi sebagai pengaruhnya Tuhan kepada semua makhluk-Nya.
Kedua: mereka mempunyai kepercayaan bahwa, patung atau kuburan orang-orang yang dianggap saleh atau mulia, atau benda-benda lainnya itu dapat menyampaikan (menjadi wasilah) permohonannya kepada Tuhan Allah.
Ketiga: Mereka mempunyai kepercayaan bahwa, Tuhan itu tidak satu (tidak Esa) tetapi banyak bilangan-Nya (seperti kepercayaan orang yang menganut agama Kristen)." [Lihat Buku Risalah Tauhid dan Syirik, halaman 26].
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata dalam putusan:
زوروا القبور لتذكروا الآخرة ولا تفعلوا عندها مالم يأذن به الله ورسوله گذعاءكم الميت والتوسل به إلى الله
"Ziarahlah ke kubur, agar kamu ingat Akan Akhirat dan janganlah mengerjakan di situ sesuatu yang tiada diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti; meminta-minta kepada mayat dan membuatnya perantaraan hubungan kepada Allah." [Lihat Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, Jilid 1, Kitab Jenazah, Pasal Ziarah Kubur, halaman 235].
Lalu dibagian Al-Adillah (dalil-dalil), Majelis Tarjih menyebutkan dalil:
(٦٣) لقوله تعالى: {وَلَا تَدْعُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ ۚفَاِنْ فَعَلْتَ فَاِنَّكَ اِذًا مِّنَ الظّٰلِمِيْنَ} و قوله: {وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَۘ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰى}
"(63) Karena firman Allah Ta'ala "Dan janganlah memohon kepada selain Allah yang tiada dapat memanfaati dan membahayakan kamu; maka apabila kamu mengerjakannya juga, niscayalah kamu tergolong orang-orang yang menganiaya (Dhalim)" (Al-Quran surat Yunus ayat 106). Dan mereka yang mengambil pelindung (penguasa) selain Allah berkata: "Kami tidak menyembah mereka kecuali agar mereka memperdekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya” (Al Quran surat Az-Zumar ayat 3)." [Lihat Himpunan Putusan Tarjih, Jilid 1, halaman 261 sampai halaman 262].
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkata dalam fatwa:
"....Dilarang meminta-minta kepada kuburan dan menjadikannya wasilah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Satu hal yang menjadi pantangan ketika berziarah kubur, sebagaimana telah disinggung sebelumnya adalah meminta-minta kepada ahli kubur dan menjadikan mereka perantara kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Yunus ayat 106 sebagai berikut,
وَلَا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ. [يونس(10): ۱۰٦]
Artinya: “Dan jangan engkau menyembah sesuatu yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi bencana kepadamu selain Allah. Sebab jika engkau lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang zalim.” [QS. Yunus (10): 106]
Dalam surat az-Zumar (39) ayat 3 disebutkan’
… وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى … [الزمر (39): ۳]
Artinya: “… dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya …” [QS. az-Zumar (39): 3]
Ayat terakhir menunjukkan bahwa orang-orang yang beralasan ingin mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala melalui perantara apapun yang tidak dibenarkan syariat, termasuk dalam hal ini adalah melalui ahli kubur, pada hakikatnya mereka itu menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebagaimana terjadi pada masa sekarang ini, banyak orang yang mengunjungi kuburan-kuburan orang-orang tertentu, seperti kuburan para wali misalnya. Kegiatan tersebut, dapat digolongkan kepada perbuatan yang dilarang dikarenakan orientasi tujuannya sudah berubah, bukan untuk mendoakan dan muhasabah diri namun cenderung meminta-minta dan menjadikan kuburan-kuburan itu wasilah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Indikasi itu muncul di antaranya karena kegiatan berziarah itu dikhususkan ke tempat-tempat tertentu yang dinilai memiliki hal yang lebih dibanding dengan kuburan-kuburan lain. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengkhususkan kuburan tertentu baik ketika beliau hendak mendoakan mereka maupun ketika bermuhasabah diri...."[Lihat https://fatwatarjih.or.id/hukum-dan-tuntunan-ziarah-kubur/].
Oleh: Ustaz Raihan Ramadhan
That's the article: Permasalahan Tawasul dengan Nabi dan Orang Saleh
You are now reading the article Permasalahan Tawasul dengan Nabi dan Orang Saleh with link address https://ladangcuanmu.blogspot.com/2022/02/permasalahan-tawasul-dengan-nabi-dan.html
Posting Komentar